Tersentuh Taksonomi Bloom di Sepuluh Malam Terakhir

pdmcilacap.com, Cilacap – Ramadhan 1446 H telah berlalu, namun jejak maknanya masih hangat terasa dalam dada. Di sepuluh malam terakhir—malam-malam terbaik yang dijanjikan penuh keberkahan—saya memutuskan membuka video pendek di ponsel. Bukan hal besar, hanya iseng mengisi waktu selepas bertadarus.

Tiba-tiba muncul wajah Kick Andy mewawancarai seorang tokoh perempuan tangguh bernama Bu Liem. Saya belum begitu mengenalnya. Tapi saat beliau mulai berbicara tentang Taksonomi Bloom, hati saya terdiam. Bukan karena istilah itu asing. Justru sebaliknya—saya pernah mendengarnya semasa jadi guru. Tapi baru kali ini… saya benar-benar tersentuh.

Ada ilmu yang baru saya sadari kedalamannya, padahal pernah melintas begitu saja di hadapan saya. Begitulah ilmu, kadang tak masuk ke hati bukan karena ia tak indah, tapi karena kita sedang tak siap menyambutnya.

Taksonomi Bloom adalah kerangka berpikir tentang bagaimana manusia belajar dan berkembang dalam ilmu. Ia dibagi menjadi enam tingkatan:

  1. Mengingat (Remembering)
  2. Memahami (Understanding)
  3. Menerapkan (Applying)
  4. Menganalisis (Analyzing)
  5. Mengevaluasi (Evaluating) dan yang tertinggi,
  6. Mencipta (Creating)

Saya merenung: betapa banyak orang hanya berhenti di tahap mengingat. Mereka bisa menghafal dalil, menyebutkan teori, bahkan menirukan ucapan guru dengan fasih. Tapi ilmu belum tumbuh menjadi amal. Apalagi menjadi ciptaan, warisan, peradaban.

Lalu saya teringat Imam Syafi’i. Beliau tidak sekadar menghafal Al-Qur’an dan hadits. Beliau pahami, terapkan, telaah, hingga akhirnya menciptakan ilmu fiqih yang menjadi pijakan umat sepanjang zaman. Betapa kuat daya cipta itu, hingga lintas abad masih hidup namanya.

Begitu pula Kiai Dahlan. Ia tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an sebagai teks. Ia hidupkan Al-Qur’an dalam amal. Ia bentuk majelis, ia bentuk sekolah, ia bentuk rumah sakit, dan panti asuhan. Muhammadiyah bukan hanya gerakan dakwah—tapi buah dari proses belajar yang sampai pada tahap mencipta. Bukan hanya hafal ayat, tapi melahirkan kehidupan dari ayat-ayat itu.

Dan saya… masih di sini, di jalan awal. Kadang baru sampai tahap memahami, kadang masih mengulang menghafal. Tapi Ramadhan lalu telah menyentil saya: Mengapa engkau tidak naik?

Belajarlah bukan untuk sekadar tahu. Tapi untuk mencipta. Untuk menyalakan cahaya. Untuk meninggalkan jejak.

Jangan biarkan ilmu hanya berhenti di kepala. Bawalah ia ke hati, hidupkan dalam tindakan, lalu wariskan dalam bentuk amal. Amal jariyah yang pahalanya terus mengalir sampai hari kemudian.

oleh Ust. Didi Eko Ristanto (Penulis Buku Self Healing ala Rasulullah / anggota Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Masjid / Mushala ,Pesantren dan Madin Muhammadiyah PDM Cilacap)